Sabtu, 01 September 2012

Said Aqil Siradj (Part V)


Dari data-data di atas dapat dicatat beberapa kesalahan Said Aqil di antaranya adalah sebagai berikut.
Sayyidina Utsman dalam menjalankan pemerintahannya sama sekali tidak didikte oleh Marwan bin Hakam. Justru Marwan mendapat amarah dari Khalifah Utsman manakala hendak campur tangan urusan beliau dalam menangani para demonstran. Ini suatu bukti bahwa walaupun Sayyidina Utsman sudah tua namun tak bersedia dicampuri pihak lain dalam melaksanakan amanat kekhalifahannya. Entah sumber dari mana yang mendikte Said Aqil untuk melontarkan tuduhan keji pada sayyidina Utsman sampai mengatakan bahwa, “pada masa ini (6 tahun terakhir) khalifah Utsman sudah mulai usia senja (harom) sehingga hampir semua urusan pemerintahan banyak didikte oleh sekretarisnya, Marwan bin Hakam.”
Mungkin Marwan telah banyak melakukan kesalahan dalam masa pemerintahan sayyidina Utsman serta manuver dan sepak terjang politiknya banyak merugikan dan berdampak terpecah-belahnya ummat Islam sehingga menjadikan tidak wibawa dan lemahnya kekuatan ummat Islam dimata musuh-musuh Islam, diantara kesalahannya adalah:
1. Mengobarkan pemberontakan terhadap pemerintahan Utsman dan merusak gagasan islah antara Utsman dan para pemberontak yang telah dicanangkan oleh para tokoh shahabat.
2. Memalsukan suratnya Utsman RA yang ditujukan kepada Gubernur Mesir, Ibnu Abi Saroh, yang isinya agar membunuh penduduk Mesir.
3. Memprovokasi para pemberontak untuk membunuh shahabat Ali RA.
4. Melaknat shahabat Ali RA.
5. Membunuh shahabat Tholhah bin Ubaidillah.
6. Marwan bersama anaknya, Abdul Malik, memberitahukan tempat-tempat persembunyian penduduk Madinah kepada pasukan Yazid sehingga menjadi penyebab terbunuhnya penduduk Madinah di tanah Harroh.
Tapi, hal itu bukanlah merupakan satu-satunya penyebab timbulnya kekacauan dan pemberontakan. Sebab utamanya adalah munculnya isu-isu negatif yang ditiupkan oleh orang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’. Dan jikalau Said Aqil mengingkari adanya Abdullah bin Saba’ sehingga menganggapnya sebagai tokoh fiktif, maka itu adalah suatu pertanda bahwa dia (Said Aqil) benar-benar terpengaruh dengan kebohongan pemikiran Syi'ah. Karena, ath-Thobari, al-Kamil dan al-Bidayah telah memuatnya. Sungguh memalukan sekali kalau Said Aqil malah tak mengetahuinya. Inilah akibatnya bila mata hati telah rusak dan teracuni ajaran sesat Syi’ah. Buktinya, Said Aqil ikut menghadiri pertemuan “Peringatan Arba’in” di Malang. Dan di sana dia mengaku terus terang sebagai gedibal Syi’ah. Demikian pula dalam pertemuan “Peringatan Karbala” yang diadakan pengikut-pengikut Syi’ah di Jakarta, dia juga ikut mendatanginya.
Sungguh suatu hal yang sangat ganjal sekali, mengapa peristiwa di atas lepas dari pantauan Said Aqil, mengapa dia tak mampu mengatakan bahwa sumber fitnah di masa akhir kekhalifahan sayyidina Utsman adalah berita bohong yang direkayasa Abdullah bin Saba’. Hal ini layak dijadikan sebagai bahan pertanyaan atas kebenaran pengakuan Said Aqil. Mestinya kalau dia seorang yang jujur dan mengemban amanat ilmiyah juga mengungkapkan catatan sejarah di atas. Sehingga tidak hanya memilih karangan manusia tak bertanggung jawab (baca: antek Syi’ah) yang menyudutkan Sayyidina Utsman maupun Marwan. Padahal sebenarnya Marwan bukanlah seorang yang pantas untuk dijadikan satu-satunya kambing hitam terhadap kasus kudeta yang melanda kekhalifahan Sayyidina Utsman bin Affan. Dia (Marwan), dalam pandangan para tokoh Shahabat, Tabi’in dan Fuqohaul Ummah adalah seorang yang adil dalam meriwayatkan Hadits. Maka apabila ada cerita atau fakta sejarah yang mendiskreditkan Marwan saja dengan menafikan sepak terjang Abdullah bin Saba', perlu di teliti kebenarannya atau dengan suatu penakwilan yang tepat, tidak asal ngawur dan serampangan, membabi buta.
Perlu jadi tambahan pelajaran bagi Said Aqil yang pura-pura tidak mengenal ilmu Hadits bahwa dengan adanya fakta di atas Marwan bin Hakam bukanlah orang yang pantas untuk dijadikan bahan kecaman maupun melontarkan kesalahan. Di samping dia (Marwan) terbukti membela Sunnah Rasul sebagaimana dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal juga diakui oleh kalangan ahli Hadits. Bahkan beliau adalah sebagai guru dari para tokoh ahli Hadits dari kalangan Tabi’in, di antaranya adalah Imam Said ibn Musayyab yang merupakan “Ra'su Ulama al-Tabi’in” (ketua ulama tabi’in). Begitu juga Imam al-Laits bin Said (tokoh ulama Mesir), Imam Abdurrozaq (tokoh ulama Yaman) dan lainnya juga mengambil riwayat dari Marwan bin Hakam. Ini suatu syahadah (baca: bukti kuat) bahwa nama Marwan sangatlah harum dan terhormat di kalangan para ulama Ahli Hadits. Dan perlu diingat bahwa tidak sembarang orang diakui dan diterima riwayatnya oleh para ahli Hadits kecuali setelah lewat seleksi yang ketat dan persyaratan yang rumit. Hanya orang adil dan benar-benar tsiqoh-lah yang tercatat sebagai rawi-rawi Hadits. Apalagi jikalau orang tersebut adalah guru dari pemimpin ulama tabi’in, maka hal itu sudah lebih dari cukup sebagai bukti akan keutamaan kehormatannya. Untuk lebih mempertajam masalah ini, haruslah diketahui oleh Said Aqil bahwasanya para ulama sampai mengarang kitab “al-Jarhu wa al-Ta’dil” adalah karena banyaknya bermunculan manusia-manusia fasiq dan pendusta yang tak bertanggung jawab dalam menyampaikan berita yang diterima maupun yang disampaikan. Maka, para Ulama sunnah bangkit untuk mendata orang yang dapat diterima riwayatnya (baca: orang adil) dengan yang tertolak riwayatnya. Lebih jelasnya, Imam al-Hafidz Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalaniy mengatakan:
Terbilangnya Marwan bin Hakam sebagai Fuqaha’ tentunya menjadi isyarat bagi siapa saja yang menguak sepak terjang dan kiprah Marwan dalam gelanggang politik untuk lebih mengedepankan kaca mata Husnudzdzon dari pada mengklaim-nya sebagai sumber malapetaka dan fitnah. Apalagi jikalau ternyata Marwan terbukti tidak bersalah, maka sangat gegabah sekali bila Said Aqil membesar-besarkan kesalahan yang belum tentu terbukti tersebut. Ini suatu bukti kesalahan Said Aqil.
Seperti halnya peristiwa yang paling disoroti Said Aqil adalah surat palsu yang menjadikan marahnya demonstran Mesir. Seandainya memang benar surat tersebut dari Marwan, itupun belum pantas dijadikan alasan untuk merendahkan martabat Sayyidina Utsman atas manuver politik Marwan. Sebab, sebagaimana yang tertulis dalam al-Bidayah wa al-Nihayah juz; 7 hal. 204 (lihat no.8 dalam makalah ini) adalah berdasarkan ayat;
(إِنَّمَاجَزَاءُ الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَيَسْعَوْنَ فِى الأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يَقَتَّلُوْا أَوْ يُصَلَّبُوْا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلاَفٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْياَ وَلَهُمْ فِى الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ). (المائدة : 33).
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah:33)
Dan memang para demonstran Mesir yang berdatangan ke Madinah untuk meminta ganti gubernurnya (Abdullah bin Sa'd’ bin Abi Sarh) adalah kaum Khawarij yang berbuat kerusakan di bumi. Maka sudah pantaslah bila Marwan dengan meminjam kekuasaan khalifah Utsman mengirim surat rahasia kepada gubernur lama (Ibnu Abi Sarah) untuk membasmi manusia-manusia durjana tersebut. Tindakan itu adalah suatu bukti ketajaman mata politik Marwan yang memang telah berhak untuk ijtihad. Sebab, mungkin saja dalam pandangannya kalau tidak dengan cara demikian tentunya tak akan mungkin membasmi orang-orang yang selalu bikin ribut. Karena siapa pun tahu bahwa khalifah Utsman adalah seorang khalifah yang bersikap lembut dan tak suka kekerasan. Maka, seandainya siasat politik tersebut diusulkan pada khalifah Utsman tentu ditolaknya. Mungkin logika politik yang demikianlah yang mengilhami Marwan untuk melaksanakan kehendaknya mem-basmi kaum Khawarij.
ثم دخلت سنة 35 وفيها مقتل عثمان بن عفان رضي الله عنه. وكان السبب في ذلك أن عمرو بن العاص حين عزله عثمان عن مصر ولى عليها عبد الله بن سعد بن أبي سرح وكان سبب ذلك أن الخوارج من المصريين كانوا محصورين(1) من عمرو بن العاص فجعلوا يعملون عليه حتى شكوه إلى عثمان لينزعه عنهم ويولي عليهم من هو ألين منه فلم يزل ذلك دأبهم حتى عزل عمرا عن الحرب وتركه على الصلاة وولى على الحرب والخراج عبد الله بن سعد بن أبي سرح. ثم سعوا فيما بينهما بالنميمة فوقع بينها حتى كان بينهما كلام قبيح فأرسل عثمان فجمع لابن أبي سرح جميع عمالة مصر خراجها وحربها وصلاتها وبعث إلى عمروا يقول له: لا خير لك في المقام عند من يكرهك فاقدم إليّ، فانتقل عمرو بن العاص إلى المدينة. (البداية والنهاية؛ ج7/ ص186).
Dari data di atas, terlihat jelas bahwa demonstran Mesir yang menuntut khalifah Utsman untuk mengganti gubernurnya adalah orang-orang brengsek yang senang bertualang dalam gelanggang politik. Semakin dituruti kemauannya maka, mereka semakin berani dan menginjak-injak kebijaksanaan pemerintah yang sah (khalifah Utsman). Lihat saja dalam khutbah sayyidina Utsman:
وقام عثمان فحمد الله وأثنى عليه، وقال: كل ما أشرتم به عليّ قد سمعت ولكل أمر باب يؤتى منه إن هذا الأمر الذي يخاف على هذه الأمة كائن وإن بابه الذي يغلق عليه فيكفكف به اللين والمؤاتاة والمتابعة إلا في حدود الله تعالى ذكره التي لا يستطيع أحد أن يبادي بعيب أحدهما فإن سده شيء فرفق فذاك والله ليفتحن وليست لأحد عليّ حجة حق. وقد علم الله أني لم آل الناس خيرا ولا نفسي ووالله ان رجى الفتنة لدائة فطوبى لعثمان إن مات ولم يحركها. كفكفوا الناس وهبوا لهم حقوقهم واغتفروا لهم وإذا تعوطيت حقوق الله فلا تدهنوا. (تاريخ الطبري ج2/ ص648).
Dan ada lagi fakta yang lebih jelas bahwa sebenarnya surat tersebut tidaklah dari kalangan pemerintahan (baik khalifah Utsman maupun Marwan), namun sengaja direkayasa oleh para demonstran yang sengaja hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Buktinya, mereka para demonstran Mesir, Kufah dan Bashrah mengapa sama-sama kembali ke Madinah setelah mereka hendak kembali ke negaranya? Ini tentu ada fihak ketiga yang mendalangi dan berdiri di belakang mereka. Siapa orangnya, tak sulit untuk ditebak. Siapa lagi kalau bukan Abdullah bin Saba’, tokoh Yahudi yang telah menebarkan isu politik di antara para demonstran sehingga mereka ramai-ramai berdatangan ke Madinah untuk menggugat Khalifah Utsman. Dialah sebenarnya biang keladi utama timbulnya segala kekacauan di akhir masa pemerintahan Sayyidina Utsman. Hasutannya begitu tajam dan mengena. Sehingga dengan jargon bahwa Ali-lah yang lebih berhak menjadi khalifah dan Utsman telah merebutnya, orang-orang yang bodoh akhirnya termakan rekayasa politik yang kotor tersebut. Demikian pula orang yang tak kenal sejarah juga akan termakan hasutan Said Aqiel, padahal dia tak lebih sebagai penjual berita yang ingin mengeruk keuntungan pribadi dengan menjual nama dan kehormatan shahabat. Sungguh kasihan sekali orang yang mengidolakan antek Syi'ah dan syetan tersebut. Kami juga pencinta shahabat Ali RA, tapi bukan Rafidloh yang menolak dan tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman seperti yang mereka lakukan.
Dengan gaya diplomasi yang sok manthiqnya dia (Said Aqiel) memutar balikkan fakta dan menyelidiki “Ahlussunah wal Jama’ah” yang sebenarnya. Padahal maksudnya ingin menghan-curkan “Aqidah Ahlussunah wal Jama’ah”. Semoga Allah memberi hidayah kepada Said Aqil dan cukong-cukongnya.
وهكذا تفاقمت الفتنة وجمعت عناصرهامن الاقاليم والامصاركالكوفة ومصروالبصرة يبتون في الظاهر بعض الظلامات والشكاوي من الولاه إلى الخليفه ويخططون في الباظن للقضاء على الخليفلة الإسلامية.وقدشعركبارالصحابة بالحطرحينماتوافدت جموعالدهماء الى المدينة فحاولوا تهدءة التاءرين من الخليفة ان يستمع إلى شكايا اتهموا المظالم التى زعموها,بعدأن استمع اليهم بن يردالحق إلى مضابه وأن يقيم العدل وينصف المظلوم وأن يختارلأمرة المسلمين من يرضونه ويرضى الله تعالى, وبهذاهدأت الأحوال وتفرقت الجموع قافلة إلى الأمصارولكن لم بلبت ان عادت مرة أخرى مدعيه أن الخليفة عثمان قد نقض العهد الذي قطعه على نفسه وأنه كاتب عامله على مصر سرا يأمره أن يؤدب المتطلمين بدلا من أن ينصفنهم وقد أشرنا من قبل إلى أن قصة الكتاب المزعوم ونسبتها إلى عثمان مجرد افتراء عليه ومما يؤكد اختلاق هذه القصة والمؤمراة التي وراءها ما أشار إليه على رضي الله عنه حيثما خاطب هؤلاء الخارجين قائلا.
" كيف علمتم يا أهل الكوفة ويا أهل البصرة بما لقي أهل امصر وقد سرتم مراحل ثم طويتم عنا، هذا والله أمر أبرم بالمدينية". ويذكر ابن كثير أن بعض الصحابة قالوا للخارجين عند عودتهم "كيف علمتم بذلك (أي الكتاب) من أصحابكم وقد افترقتم وصار بينكم مراحل؟، إنما هذا أمر اتفقتم عليه".
فلما لم يجد الخارجون مبررا مقنعا قالوا: صفوة على ما أردتم لا حاجة لنا في هذا الرجل ليعتزلنا ونحن نعتزله. (ص44).
Dan sebagai akhir dari tulisan ini perlu di renungkan firman Allah SWT. dalam kitab suci Al-Qur’anul Karim:
(أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْديهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ). (الجاثية : 23).
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah Subhanahu Wata'ala membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya dan Allah Subhanahu wa ta'ala telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatan-nya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. AL-Jatsiah: 22).

Bersambung.... Part VI

0 komentar:

Posting Komentar